2.7 Supply Chain Risk Management (SCRM)
Banyak kejadian yang
terjadi dalam rantai pasok dan kejadian tersebut menyebabkan permasalahan
operasional dan terhentinya aktivitas bisnis. Seperti kejadian yang dialami
oleh Ericsson pada tahun 2000, Ericsson mengalami kegagalan untuk memenuhi
permintaan pelanggan akibat peristiwa kebakaran yang dialami oleh pemasok
sehingga perusahaan harus menghadapi kerugian sebesar $2.34 miliyar (Kayis and Karningsih, 2012). Dari pengalaman
yang dialami oleh perusahaan Ericsson menunjukkan bahwa risiko memiliki dampak
yang merugikan dan berakibat pada kerugian secara financial.
Risiko yang timbul dari
setiap kejadian, tetapi dapat dikelola berdasarkan kebutuhan organisasi.
Pendekatan untuk mengelola risiko disebut manajemen risiko rantai pasok.
Manajemen risiko rantai pasok merupakan bagian dari mengelola rantai pasok. Manajemen
risiko rantai pasok (SCRM) telah menjadi perhatian utama.
Mengelola risiko rantai
pasok penting dilakukan untuk memastikan langkah-langkah yang tepat diambil
sehingga konsekuensi yang merugikan dari gangguan rantai pasok bisa dihindari
dan diminimalkan (Kayis and Karningsih, 2012). Manajemen
risiko rantai pasok adalah proses yang sistematis untuk mengidentifikasi,
menganalisis, dan merespon risiko di sepanjang organisasi (Waters, 2007)
Menurut Norrman dan Jansson (2004), manajemen risiko
rantai pasok dapat berjalan dengan baik apabaila ada kolaborasi antara
anggota-anggota yang berada dalam rantai pasok untuk menerapkan proses manajemen
risiko rantai pasok secara bersama-sama sebagai alat untuk berurusan dengan
risiko dan ketidakpastiaan yang disebabkan oleh aktivitas logistik. Tujuan dari
manajemen risiko rantai pasok adalah memahami dan mencoba menghindari dampak
yang sangat merugikan dari terjadinya suatu kejadian yang dapat dimiliki oleh
rantai pasok.
Menurut Peck dkk (2003), definisi
manajemen risiko rantai pasok adalah proses identifikasi dan manajemen risiko
rantai pasok melalui pendekatan yang terkoordinasi dengan anggota rantai pasok
untuk mengurangi kerentanan pada rantai pasok secara keseluruhan. Tujuan dari
manajemen rantai pasok adalah mampu mengidentifikasi sumber risiko dan
mengimplementasikan tindakan untuk menghindari kerentanan pada rantai pasok. Selain
itu, manajemen risiko rantai pasok memiliki tujuan untuk mengurangi
probabilitas dari kejadian risiko terjadi dan meningkatkan resilence yang mampu
kembali dari gangguan risiko (Pujawan dan Geraldin 2009).
Secara umum, menurut Kayis dan Karningsih (2012) proses manajemen risiko rantai pasok
terdiri dari 4 tahapan, yaitu:
1. Identifikasi
Risiko
Tahapan ini untuk mengidentifikasi
potensi risiko dan sumber risiko melalui pemahaman kondisi internal dan eksternal
dan semua aktivitas.
2. Analisis
Risiko
Tahapan ini untuk menentukan dampak
risiko yang teridentifikasi dari tahapan sebelumnya.
3. Evaluasi
Risiko
Menentukan prioritas risiko menurut
dampak dan kiterianya (keuntungan biaya,
ketersediaan sumber daya).
4. Mitigasi
Risiko
Menentukan tindakan untuk berurusan
dengan risiko.
Identifikasi risiko
adalah tahapan pertama dalam manajemen risiko rantai pasok. Pada tahapan ini
akan mengidentifikasi rincian potensial risiko sehingga akan mempermudah para pengambil
keputusan untuk mengambil tindakan yang tepat dalam berurusan risiko (Waters,
2007). Tujuan dari identifikasi risiko adalah mengidentifikasi daerah yang
terkena potensi risiko, potensial risiko, dan penyebab risiko di sekitar proses
bisnis perusahaan.
Beberapa penelitian
terdahulu yang membahas tentang metodologi untuk identifikasi risiko telah
dilakukan oleh Kayis dan Karningsih (2012) dengan
mengembangkan teknik knowledge based
system (KBS) atau dikenal dengan supply
chain risk identification system (SCRIS). Model SCRIS dikembangkan untuk
mengidentifikasi rincian sumber risiko dan keterkaitan antar risiko.
Tahap selanjutnya dari
proses manajemen risiko rantai pasok adalah penilaian risiko. Tujuan dari
penilaian risiko untuk mengevaluasi peluang terjadinya suatu kejadian dan
memperkirakan kemungkinan dampak yang ditimbulkan dari risiko. Selain itu,
tujuan dari penilaian risiko untuk memberikan informasi yang mendalam tentang
risiko yang telah teridentifikasi dalam rangka untuk mengurangi dampak dan kemungkinan
serta menyiapkan rencana contigency (Baird, 1986).
Penelitian terdahulu
mengenai penilaian risiko pernah dikaji oleh Gaudenzi dan Borghesi (2006) dengan
mengembangkan metodologi analytic hierarchy process (AHP) untuk menilai risiko.
Metode AHP digunakan untuk memprioritaskan tujuan dari rantai pasok,
mengidentifikasi indikator risiko, menilai potensi dampak dari kejadian
negatif, dan hubungan sebab-akibat sepanjang rantai.
Langkah terakhir,
strategi mitigasi risiko dimana data yang dikumpulkan dan diperoleh dari tahap
sebelumnya. Tujuan dari strategi mitigasi risiko untuk mengambil tindakan yang
dianggap tepat dalam mengurangi probabilitas terjadinya risiko dan mengurangi
dampak dari kejadian risiko. Strategi
mitigasi dapat dicapai apabila ada koordinasi dengan anggota-anggota yang
terlibat di dalam jaringan rantai pasok. Berdasarkan hasil kajian literatur,
penelitian terdahulu yang membahas tentang strategi mitigasi risiko pernah
dilakukan oleh Pujawan dan Geraldin (2009) yang mengembangkan
metodologi untuk strategi mitigasi risiko dengan pendekatan model House of risk. Pendekatan House of risk merupakan model yang
menggabungkan konsep FMEA dan HOQ. Pendekatan ini difokuskan sebagai tindakan
pencegahan terhadap penyebab risiko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar